Mohamad Hartadi

Perempuan, 8 tahun

Kudus, Indonesia

SELAMAT DATANG DI BLOG PERJALANANKU, MY LIFE MY BLOG adalah blog yang menceritakan semua yang saya suka, Inspirasi, dan Motivasi.Selamat bergabung di blog saya, semoga bisa jadi motivasi dan inspirasi bagi anda yang membacanya Semoga Bermanfaat.

Visit My Blog :
=>e-designonline.blogspot.com
=>e-tutorial07.blogspot.com
=>myblogdesign07.blogspot.com
=>matahati09@gmail.com
::
Start
Deswita Alifia D™ Vivi
Shutdown

Navbar bawah

Search This Blog

Selasa, 14 Juni 2016

Melaksanakan Shalat Di Masjid Nabawi Padahal Di Dalamnya Ada Kuburan Nabi SAW

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivB4KLW5w6qD4Pv2Du8V-7N4bgSqj4AO0fMqwg2ZPIulEv6UiqZdpoCmWvYOLPzhgHSJ8WVY0YiQ1NwbuxWJGnDRR9xozwq1KXJaBZY3xtR8CKdN8w2C_GBoXPwzV9R1BCc9R5DXbM6gk/s640/masjid-nabawi.jpg


Pertanyaan.

Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Boleh atau tidak?

Jawaban.

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan beberapa hal menyangkut permasalahan ini.
Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid. [Muttafaqun ‘alaihi].

Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا

Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya. [HR Muslim].
Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah.[1]

Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:

Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (pada) lima hari sebelum beliau n meninggal:

إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ

Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi 
dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya. [HR Muslim].

Juga hadits A’isyah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

لَعْنَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid. 

Kewajiban pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun bukan di atas takwa. Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam masjid setelah masjid dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah menjadi tulang atau debu, karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu diperbolehkan shalat di masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.[2]

https://muslimminang.files.wordpress.com/2014/09/perluasan-masjid-nabawi-tanpa-menyentuh-makam-rasulullah-3.jpg

Prof. Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan:

Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik.[3]

Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka para ulama telah menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` berfatwa:

Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid.[4]

Syaikh al Albani rahimahullah , secara jelas juga mengatakan:

Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. (Maksud) para sahabat, ketika menguburkan beliau n di kamar ‘Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid, sehingga kamar ‘Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah. [5]

Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (uaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh. [6]

Demikianlah beberapa penukilan dari pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidaklah mengapa. Yakni dibolehkan.

Wallahu  a’lam.
________ Footnote
[1] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316.
[2] Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
[3] Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
[4] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316 (6/257)
[5] Tahdzirus-Saajid.
[6] Ibid.


Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Perihal Keturunan Rasulullah Dan Meminta Berkah Dengannya


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGn8_DQiDdDBPdh_GfBKuUiKQqnD7ceGclJ28Tw3eSh9ZAhUJBOBqzzNCbKUp1xLs8OZJtmKsBfbQc_tJGCCFJzBesYM3_jROFtU0P_uyb7XKR4R6LFVfNVd-XU0ktuLNQMj2CO0a9ph9S/s1600/1161138324nabi-muhammad-saw.jpg

Pertanyaan.

Apakah keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada? Karena banyak orang yang mengaku keturunan (al itrah), dan banyak orang yang meminta berkah dari mereka. Tolong beri penjelasan?

Jawaban.

Keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada. Bahkan di antara keturunan beliau,  yaitu imam Mahdi, akan datang menjelang hari Kiamat, dan termasuk tanda-tanda besar hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ اللهُ فِي لَيْلَةٍ

Al Mahdi dari kami, ahli bait, Allah akan memperbaikinya di dalam satu malam. [HR Ahmad, no. 646; Ibnu Majah, no. 4085. Dihasankan oleh al Albani di dalam ash Shahihah, no. 2371].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ

Al Mahdi dari keturunanku dari anak Fatimah. [HR. Ahmad, no. 646; Ibnu Majah, no. 4085, dan ini lafazhnya. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat juga di dalam ash Shahihah, no. 2371].

Adapun banyak orang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pengakuan tersebut kemungkinan benar, kemungkinan juga tidak benar. Sedangkan meminta berkah (tabarruk) dari mereka, maka itu merupakan kesalahan. Sesungguhnya semua berkah dan kebaikan itu hanyalah milik Allah Azza wa Jalla. Dia berfirman :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah : “Wahai Allah, Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Hanya di tanganMu segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali Imran/3:26].

Imam Ibnu Jarir ath Thabari berkata: “Firman Allah ((Hanya di tangan-Mu segala kebajikan)), yaitu semuanya itu ditanganMu dan terserah padaMu, tidak ada seorangpun yang berkuasa terhadapnya, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu, bukan seluruh makhlukMu, dan bukan sesembahan dan tuhan yang dijadikan oleh orang-orang musyrik dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang ummi, mereka menyembahnya dari selainMu, seperti al Masih dan tandingan-tandingan yang diangkat oleh orang-orang ummi sebagai tuhan”. [Tafsir ath Thabari, 3/222-223].

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ اْلآيَاتِ بَرَكَةً وَأَنْتُمْ تَعُدُّونَهَا تَخْوِيفًا كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَلَّ الْمَاءُ فَقَالَ اطْلُبُوا فَضْلَةً مِنْ مَاءٍ فَجَاءُوا بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ قَلِيلٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الطَّهُورِ الْمُبَارَكِ وَالْبَرَكَةُ مِنْ اللهِ فَلَقَدْ رَأَيْتُ الْمَاءَ يَنْبُعُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَقَدْ كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيحَ الطَّعَامِ وَهُوَ يُؤْكَلُ

Dari Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata : Kami dahulu menganggap ayat-ayat (perkara-perkara luar biasa) sebagai berkah, sedangkan kamu menganggapnya sebagai perkara untuk menakut-nakuti. Kami dahulu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan, kemudian air menjadi sedikit, maka beliau bersabda,”Carilah sisa air,” kemudian mereka datang membawa sebuah wadah yang berisi sedikit air. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah tersebut, kemudian bersabda,”Kemarilah menuju air bersih yang diberkahi, dan berkah itu dari Allah”. Sesungguhnya aku melihat air terbit dari jari-jari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan sesungguhnya kami juga pernah mendengar tasbihnya makanan yang sedang dimakan. [HR Bukhari, no. 3579; Tirmidzi; Nasaa-i].

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa berkah itu milik Allah dan dari Allah. Oleh karena itu, meminta berkah itu hanya kepada Allah.

Syaikh Dr. ‘Ali bin Nufayyi’ al ‘Alayani berkata,”Jika berkah itu dari Allah, maka memintanya dari selainNya merupakan kemusyrikan kepada Allah Ta’ala, seperti meminta rizqi, mendatangkan manfaat, dan menolak bencana dari selain Allah Azza wa Jalla .” [1]

Sebagai tambahan, tabarruk (mencari berkah) itu ada dua macam, yaitu : tabarruk masyru’ (mencari berkah yang disyari’atkan) dan tabarruk mamnu’ (mencari berkah yang dilarang).

Tabarruk masyru’ dilakukan dengan perantaraan perkara-perkara yang diberkahi oleh Allah, dengan cara yang dituntunkan oleh Allah melalui RasulNya. Dan hukumnya, ada yang wajib, mustahab, dan mubah. [2]
Untuk mengetahui perkara pun yang diberkahi oleh Allah, dan cara mendapatkan berkah itu, semuanya harus dengan dalil-dalil al Qur’an dan as Sunnah, karena hal ini termasuk urusan agama.

Contohnya tabarruk (mencari berkah) dengan al Qur’an, yaitu dengan cara membacanya, merenungkannya, menghafalnya, mengimaninya, mengamalkannya,  mendakwahkannya, dan sebagainya yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Tabarruk (mencari berkah) dengan bulan Ramadhan, ialah dengan cara berpuasa padanya, memperbanyak amal shalih, dan sebagainya yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

http://www.konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2012/02/habib-hasan.jpg

Tabarruk (mencari berkah) dengan lewat masjid, yaitu dengan cara melakukan shalat jama’ah di dalamnya, membaca al Qur`an, thalabul ilmi (kajian agama) dan sebagainya yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Intinya, seluruh perbuatan atau perkataan, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah atau RasulNya, untuk dilakukan di tempat tertentu atau waktu tertentu, atau tanpa ketentuan waktu dan tempatnya, kemudian seorang hamba melaksanakannya sesuai dengan tuntunan, dengan niat ikhlas dan didasari keimanan, maka hamba tersebut akan mendapatkan berkah dan kebaikan yang besar di dunia dan di akhirat.
Adapun tabarruk mamnu’, yaitu mencari berkah dengan perkara-perkara yang dilarang oleh syari’at, atau yang melewati batas tabarruk masyru’, atau sama sekali tidak memiliki sandaran syari’at. [3]  . Sehingga hukum tabarruk terlarang ini bisa sekedar kemaksiatan, dosa besar, atau bahkan kemusyrikan.

Di antara contoh tabarruk terlarang adalah tabarruk dengan dzat atau bekas orang shalih –selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam -, tabarruk dengan kubur orang shalih, tabarruk dengan merayakan hari kelahiran atau kematian atau peristiwa penting orang shalih, tabarruk dengan tempat-tempat yang berkaitan dengan kejadian penting.

Di antara tabarruk yang syirik, yaitu tabarruk kepada pohon, batu, kubur, patung, atau semacamnya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
________
Footnote
[1] At Tabarruk Masyru’ wa Tabarruk Mamnu’, hlm. 17.
[2] At Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hlm. 201, karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad al Juda-i.
[3] At Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hlm. 315, karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad al Juda-i.


Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Suami Isteri Apakah Juga Termasuk Mahram?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilj4Pl9Gklhrs7Qh7bG_eHeHG2XkgXdZsPqmFVjDKRRFqr3qyOxz3ZY94t4UnMzM5m4dnJy2P_Cn0EvOw8uhXe6d4N59i6ngxwnUfowv-J_qGeCKWY-YjtOsFCM2adMGAlkFHA6IEJWrQ/s485/aurat+2.jpg

Pertanyaan.

Ana ingin bertanya, apa definisi muhrim? Apakah suami isteri itu muhrim? Apakah bersentuhan antara suami isteri membatalkam wudhu? Mohon jawaban disertai haditsnya. Syukran.

Jawaban.

Pertanyaan Anda perlu diperjelas maksudnya. Muhrim dalam istilah syari’at adalah orang yang menunaikan ihram haji atau umrah.

Tampaknya maksud pertanyaan Anda adalah mahram bukan muhrim. Bila mahram, maka pengertiannya adalah orang-orang yang diharamkan dinikahi oleh seorang laki-laki. Mereka ini ialah orang-orang, sebagaimana yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya, surat an Nisaa`/4 ayat 22-24 :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا﴿٢٢﴾ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 

Dengan demikian, maka suami tidak termasuk yang diharamkan menikahinya dalam pengertian ini.

Kemudian tentang hukum suami-isteri bersentuhan apakah membatalkan wudhu?

Tentang masalah ini, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan, tidak batalnya wudhu` seseorang disebabkan bersentuhan dengan wanita atau lelaki yang bukan mahram. Demikian ini pendapat madzhab Abu Hanifah, dan dirajihkan Ibnu Taimiyah, Ibnu ‘Utsaimin[1] dan Musthafa al ‘Adawi,[2] dengan dasar tafsir Ibnu ‘Abbas terhadap firman Allah dalam surat al Maidah ayat 6 :

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

[pengertiannya adalah jima’ (berhubungan suami istri)].

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgri_fFzZjgRn2dnLU5erk33ezlAzObMDTgBOjlITv7aI7YmvHKZEmeYevpvjBhX92pivnOTKETQip9cRDTPzUz9I0veS-pEsP5WVVwliRlDv5U4korsb-02DaCiqg0xCk_VUm7SHQ7Te80/s1600/mahram.jpg

Hal ini dikuatkan dengan hadits berikut ini :
  1. Hadits ‘Aisyah, beliau berkata :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidurku. Lalu aku mencarinya, dan tanganku menyentuh bagian bawah telapak kaki beliau yang sedang bersujud …[3]   
  1. Dari ‘Aisyah, beliau berkata:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

Aku, dulu pernah tidur di depan Rasulullah, dan kedua kakiku di bagian kiblat beliau. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku, lalu aku menekuk kedua kakiku. Dan bila beliau bangkit, maka aku luruskan lagi. Waktu itu rumah-rumah tidak ada lampu penerangnya.[4] (dalam riwayat an Nasaa-i disebutkan :

إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ

(Apabila beliau ingin witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya).

Demikianlah pendapat yang rajih.

Wallahu a’lam.
________
Footnote
[1] Lihat Syarhul Mumti’, 1/240.
[2] Jami’u Ahkamin Nisaa’, 1/50.
[3] HR Muslim, 222 dan Abu Dawud.
[4] Muttafaqun a’laih.


Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Jama’ Shalat ‘Isya Dan Maghrib Ketika Sedang Safar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYpZ-LL9eInfrb3hhNjBF5TQVzNY2EJm0gJg0z9rfN3myUbOzNwfOepzOLJRaXPJv0KTuFyyRbFw97yThmTxKT8e5YTd_ftwrhTSnAcV4G5TNq3q6J5zDVc_eckwPqqOqY5MDLgS-by-I/s1600/sujud.jpg


Pertanyaan.

Saya menjama’ takhir shalat Maghrib dengan ‘Isya ketika sedang safar. Tetapi ketika saya sampai di lokasi tujuan, ternyata sudah masuk waktu ‘Isya dan iqamah sudah dikumandangkan. Pertanyaan saya :
  1. Apakah saya harus shalat ‘Isya berjama’ah dahulu atau shalat Maghrib dahulu, baru kemudian shalat ‘Isya?
  2. Apakah boleh shalat ‘Isya berjama’ah, tetapi dengan niat shalat Maghrib. Mohon dijelaskan tehnisnya.
Jawaban.

Perlu diketahui, tertib dalam melakukan shalat ialah melakukan shalat Dhuhur kemudian ‘Ashar, atau Maghrib kemudian ‘Isya, adalah syarat dalam jama’, sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, 4/871. Beliau rahimahullah mengatakan, disyaratkan tertib dengan memulai yang pertama kemudian yang kedua, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

(Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat) -HR al Bukhari. Juga karena syari’at menjelaskan tertib waktu-waktu shalat, sehingga shalat, wajib dilakukan pada waktu yang telah disusun pembuat syari’at.

Kemudian Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan contoh. Seseorang berniat jama’ ta’khir, kemudian masuk masjid dan mendapati orang-orang shalat ‘Isya, lalu ia masuk ikut mereka (berjama’ah) dengan niat shalat Isya’. Dan ketika selesai shalat ‘Isya, ia shalat Maghrib. Maka kami katakan, shalat ‘Isya’nya tidak sah, karena ia mendahulukan dari Maghrib dan tertib itu adalah syarat. Sehingga ia mengulangi lagi shalat ‘Isyanya lagi, sedangkan shalat Maghribnya sah. Pengertian tidak sah disini adalah, tidak sah sebagai shalat fardhu yang menghilangkan kewajiban, namun ia menjadi shalat sunnah yang diberi pahala.[1]

Berkenaan dengan  pertanyaan tersebut, kami bawakan pula fatwa Lajnah ad Da’imah lil Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta`, Saudia Arabia, no. fatwa 425 yang berbunyi:

Barangsiapa yang mendapatkan keringanan safar, maka diperbolehkan menjama’ shalat ‘Ashar dengan Dhuhur, baik jama’ taqdim (di waktu Dhuhur) atau jama’ ta’khir (di waktu ‘Ashar), dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jama’ taqdim (di waktu Maghrib) atau jama’ ta’khir (di waktu ‘Isya) sesuai dengan kemaslahatan musafir tersebut. Namun dalam jama’ tersebut diwajibkan tertib. Dia shalat Dhuhur dulu kemudian shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dahulu baru shalat ‘Isya, baik dilakukan dalam jama’ taqdim maupun ta’khir. [2]

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4zffvZZiPYSlpAjiz4dDuRSZdXbsONmZoLXM2riJB0I9j_YRNlQnuaag2krJA4C8Wo-Twj2tz0SxHVEruSXJvZpw2Nb12g2VI9bWPC3ETY1_LDb00oiKoMSW6VohQ7maGLwKzEx3Fijp5/s400/1.jpg

Fatwa Lajnah Da’imah no. 12014 berbunyi:

Wajib bagi orang yang mengakhirkan shalat Maghrib ke shalat ‘Isya dalam safar (bepergian), untuk memulainya dengan shalat Maghrib terlebih dahulu. Apabila ia masuk bersama orang yang shalat ‘Isya dan berniat shalat Maghrib, kemudian duduk pada raka’at ketiga, maka shalatnya sah. [3]

Dari fatwa-fatwa di atas menjadi jelas, bila kita ingin menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya pada waktu ‘Isya, maka wajib mendahulukan shalat Maghrib walaupun mendapati jama’ah shalat ‘Isya. Apabila didahulukan shalat ‘Isyanya, maka dianggap belum menunaikan shalat ‘Isya, sehingga mengulangi shalat ‘Isya lagi setelah melaksanakan shalat Maghrib.

Jadi, bila Anda berniat shalat Maghrib di belakang imam shalat ‘Isya, maka boleh duduk pada rakaat ketiga, sambil menunggu imam selesai shalat, dan salam setelah imam salam.

Wallahu a’lam.

Footnote
[1] Syarhul Mumti’, 4/572.
[2] Fatawa Lajnah Daimah, 8/138-139.
[3] Fatwa Lajnah Daimah, 8/139.


Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Beranggapan Sial dengan Angka 13, Itu Adalah Salah Satu Bentuk Kesyirikan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZIXV4ryD3sCI-7_WlXUgrmOMW-FAOA7-uYBtlnttEwHdFbhH-9bfUhhIolN8vpQO7hTurj1_-lorIPJKtIqAd5KZS_g1mZ_7x81F8myg4AsqwKkdl3fvzf_AT25UCNDd7aFGy3G7QRBo/s1600/94374_angka-13.jpg

Anggapan sial dan datangnya bencana karena hari tertentu, bulan tertentu (baca: bulan suro), angka tertentu (angka 13) atau peristiwa tertentu (semisal kejatuhan cecak sebelum pergi) dalam bahasa Arab disebut thiyarahatau tathayyur. Istilah ini diambil dari kata thairun yang artinya burung
 
Hal ini karena pada mulanya orang Arab punya anggapan sial dengan sebab burung. Gerak tertentu yang dilakukan oleh seekor butung bisa menyebabkan mereka mengurungkan diri untuk melakukan suatu hal. Islam datang untuk menghapus keyakinan semisal ini. Islam menegaskan bahwa bahaya dan manfaat hanya ada di tangan Allah.

Thiyarah itu bertentangan dengan tauhid karena perbuatan Allah dinisbatkan kepada makhluk. Juga dikarenakanthiyarah itu akan menjadi sebab adanya keyakinan bahwa makhluk yang lemah itu punya pengaruh dalam takdir yang telah Allah tentukan. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya sebagai kesyirikan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الطِّيَرَةُ مِنَ الشِّرْكِ ». وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah itu syirik. Semua kita pasti pernah terbesit di dalam hatinya anggapan sial karena hal-hal tertentu namun Alloh menghilangkannya dengan tawakal” (HR Tirmidzi no 1614, dinilai shahih oleh al Albani).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ « أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ».
Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah maka dia telah melakukan kesyirikan”. Para shahabat bertanya, “Wahai rasulullah, apa penebus untuk dosa tersebut?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapan ‘allahumma la khaira illa khairuka, wa la thaira illa thairuka wa la ilaha ghairuka’Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikanMu. Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Kau tetapkan. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau” (HR Ahmad no 7045, dinilai hasan oleh Syeikh Syuaib al Arnauth).
Para ulama ahli sunnah dengan mengingatkan dengan keras bahaya thiyarah. Karena thiyarah adalah penyimpangan dari keyakinan yang benar bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan kebaikan melainkan Allah.

Dalam thiyarah, perbuatan Allah dinisbatkan kepada makhluk yaitu keyakinan orang yang punya anggapan sial bahwa apa yang terjadi itu disebabkan sumber thiyarah baik hari, bulan ataupun hewan. Ini merupakan syirik dalam rububiyyah.

https://4.bp.blogspot.com/-5FK_8U6lu7o/VtQ6RI374pI/AAAAAAAAAmo/pzYPzV97Qcc/s640/13.jpg

Oleh karena itu, Allah membantah anggapan kaum Nabi Shalih bahwa kekeringan dan paceklik itu disebabkan Nabi Shalih. Allah tegaskan bahwa apa yang terjadi itu dari sisi Alloh disebabkan dosa dan maksiat mereka.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ فَإِذَا هُمْ فَرِيقَانِ يَخْتَصِمُونَ (45) قَالَ يَا قَوْمِ لِمَ تَسْتَعْجِلُونَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ لَوْلَا تَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (46) قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُونَ (47)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru): “Sembahlah Allah”. Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan. Dia berkata: “Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat”. Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu”. Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji” (QS an Naml:45-47).

Jadi thiyarah adalah keyakinan yang tidak benar dan tidak punya pengaruh apapun. Allahlah satu-satunya yang mengatur alam semesta.

عَنْ أُمِّ كُرْزٍ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « أَقِرُّوا الطَّيْرَ عَلَى مَكِنَاتِهَا ».

Dari Ummu Kurzin, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah burung, jangan dibentak dari tempatnya” (HR Abu Daud no 2835, dinilai shahih oleh al Albani).

Maksudnya biarkan burung berada di tempat yang kalian lihat dan jangan punya anggapan sial dengannya karena burung tersebut tidak akan membahayakan kalian.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada penyakit menular dengan sendirinya dan tidak ada anggapan sial karena suatu hal” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ طِيَرَةَ ، وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ » . قَالَ وَمَا الْفَأْلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ »
 
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada anggapan sial karena suatu hal. Thiyarah yang terbaik adalah fa’i (kata-kata yang membuat optimis)”. Ada yang bertanya, “Apa itu fa’i wahai rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kata-kata baik yang kalian dengar” (HR Bukhari dan Muslim).

Tentang ciri orang yang masuk surga tanpa hisab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ ، وَلاَ يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak punya anggapan-anggapan sial, tidak minta di-kay (pengobatan dengan besi panas) dan hanya bertawakal kepada Rabbnya” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Apakah Kepiting Halal Dimakan?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPDD9V-nCfEAsSCjUy3_iDxpunR008J-fSa1fa4A-TpDfvzZ_ZnCI9sR45AvejNOLUEAMj8-x99b1Zxv6eCLtMSWPIB1WWsI2SG9jlaRf68f7leOU0VexNVSzZwFeuJoUPWNlie1AFa-w/s640/3.jpg

Pertanyaan.

Mohon penjelasan, dahulu yang saya ketahui kepiting itu haram. Tetapi sekarang ada beberapa tayangan TV menerangkan bahwa kepiting itu halal. Syukran.

Jawaban

Sebagai seorang mukmin, kita wajib meyakini bahwa yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. [al A’raf7:54].

Oleh karena itu, Allah melarang manusia menghalalkan dan mengharamkan tanpa dalil dari al Kitab dan as-Sunnah. Dan jika hal itu terjadi berarti termasuk membuat kedustaan atas nama Allah. Disebutkan dalam firman-Nya:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [an-Nahl/16:116].

Dalam masalah makanan, hukum asal seluruh makanan yang ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [al Baqarah/2:29].

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. [al Baqarah/2:168].

Dengan demikian, seseorang tidak boleh mengharamkan makanan, kecuali yang telah diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya, sesuai tugas Rasulullah n , yaitu menyampaikan apa yang Allah perintahkan untuk disampaikan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?” [Yunus/10:59].

Setelah mengetahui kaidah ini, maka adakah keterangan di dalam al Kitab atau as-Sunnah yang mengharamkan kepiting?

Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ayat maupun hadits yang mengharamkan kepiting. Di sebagian sekolah dan buku-buku diajarkan, bahwa binatang yang hidup di dua alam, yakni daratan dan lautan, itu haram. Mungkin dari sinilah sebagian orang beranggapan jika kepiting itu haram. Seseorang yang beranggapan demikian, maka perlu menunjukkan dalil bahwa binatang yang hidup di dua alam, yakni daratan dan lautan, itu haram. Jika jelas tidak ada dalilnya, maka hal itu kembali kepada kaidah, yaitu bahwa seluruh makanan itu halal kecuali yang diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.

Adapun berita saudara “tetapi sekarang ada beberapa tayangan TV menerangkan bahwa kepiting itu halal”, maka perlu kami jelaskan, bahwa sesuatu yang haram menurut nash syari’at pada zaman dahulu, tidaklah bisa menjadi halal pada zaman sekarang. Karena yang menentukan halal dan haram itu adalah Allah Azza wa Jalla , bukan waktu. Memang makanan yang Allah haramkan itu bisa menjadi halal dalam keadaan terpaksa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al Baqarah/2:173].

Demikian jawaban kami.

Wallahu a’lam.


Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►

Hukum Memanfaatkan Barang-barang Bekas Ritual Sesajen


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJcfNUg6CwKhjVsZjqpvDtYIwp_YGUQGYjgWGvymaMdDZ_zuUqGyleK8KXTUdnVN7rX9zPWZXsmD_dsBbed9IrySA2ObPwDPVuIDMpVH29_uAysT6GvnA7AffXv2lgyu53lZTf4MevZ7pO/s400/sesajen.jpg

Pertanyaan.

Bolehkah Kita mengambil dan memanfaatkan barang-barang bekas ritual ibadah orang-orang kafir selain makanan (seperti wadah sesuatu atau bejana, sandal dan lain sebagainya) yang mereka buang (karena dianggap mendatangkan sial) ?

Jawaban.

Boleh. Karena pemilik barang sudah membuangnya dan tidak membutuhkannya, padahal barang-barang itu masih bisa dimanfaatkan. Tidak memanfaatkan barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan termasuk menyia-nyiakan harta. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allâh membenci untuk kalian tiga perkara: desas-desus; menyia-nyiakan harta; serta banyak bertanya. [HR. Bukhâri dan Muslim]

Perlu kami ingatkan, meskipun tidak ditanyakan bahwa binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain nama Allâh, maka dagingnya haram dikonsumsi. Allâh Azza wa Jalla berirman :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (mengkonsumsi) bangkai, darah (mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh. [al-Maidah/5: 3]

Lalu, bagaimana hukum selain dagingnya ? Syaikh Muhammad Hâmid al-Fiqi al-Mishri rahimahullah mengatakan, “Demikian juga makanan, minuman, atau lainnya, yang dinadzarkan untuk selain Allah Azza wa Jalla atau sesaji untuk selain Allâh. Semua makanan yang diproduksi dengan menyebut nama-nama sesembahan selain Allah dan demi mendapatkan berkah darinya yang dibagikan kepada orang-orang yang tirakat (semedi/mencari berkah) di dekat kubur-kubur dan thaghut-thaghut (semua yang disembah selain Allâh-red), itu semua sama hukumnya dengan hukum hewan yang disembelih untuk selain Allâh’. [Catatan kaki Kitab Fathul Majîd, hlm. 151, penerbit. Dârul Fikr; cet. 7; th. 1399 H/1979 M]

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ_i4_Eim0V5C8-RoqzhYKcP4L7JtABlTDZebJEclHI9ajl-_TGGExeDm9uhk1Xwfv3xDy9OBomkNo15d5nyzLYUpsjt2hugMMwfK770NUO-ilR5bduggUBS5-UWo2z032iA_9jjF9iQU/s1600/sesajen-300x200.jpg

Namun perkataan syaikh Muhammad Hâmid al-Fiqi rahimahullah ini dikomentari oleh syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah sebagai berikut, “Masalah ini perlu dirinci ; Jika yang dimaksudkan adalah (menjelaskan bahwa-red) perbuatan itu merupakan syirik, karena hal itu merupakan sebentuk ibadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allâh, maka itu benar. Karena siapapun tidak boleh beribadah kepada selain Allâh dengan bentuk ibadah apapun; Tidak boleh beribadah kepada seorang nabi atau lainnya. Dan tidak diragukan lagi, menyajikan makanan, minuman, uang dan lain sebagainya untuk para Nabi, Wali, atau lainnya yang telah mati, atau untuk patung-patung dan semacamnya, dengan penuh optimisme sekaligus rasa khawatir, termasuk prilaku beribadah kepada selain Allâh. Karena beribadah kepada Allâh adalah (dengan melaksanakan) apa yang diperintahkan oleh Allâh dan RasulNya.

Adapun jika yang dimaksudkan oleh syaikh Muhammad Hamid adalah (menjelaskan bahwa-red) uang, makanan, minuman serta binatang-binatang hidup yang disajikan oleh para pemiliknya untuk para Nabi, Wali, dan lainnya, itu semuanya haram diambil dan dimanfaatkan, maka itu pendapat yang tidak benar. Karena semua itu adalah harta benda yang bisa dimanfaatkan sementara para pemiliknya sudah tidak menginginkannya lagi. Barang-barang ini tidak sama hukumnya dengan bangkai. Kalau begitu, barang-barang tersebut boleh diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang mengambilnya, sebagaimana harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk orang yang dikehendaki. Seperti buah yang masih ditangkai dan  buah kurma yang dibiarkan oleh para petani dan para pemetik kurma untuk orang-orang miskin. Dalilnya yaitu  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil harta yang ada di tempat penyimpanan pada berhala Latta dan harta itu dipergunakan oleh beliau untuk membayarkan hutang ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.

Beliau memandang, persembahan harta ini sebagai sesajen untuk berhala Latta bukan sebagai penghalang bagi orang yang ingin mengambilnya, kalau mampu. Akan tetapi, siapapun yang melihat orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang musyrik melakukan perbuatan itu (memberikan sesaji), maka dia berkewajiban untuk mengingkari dan menerangkan kepada mereka bahwa perbuatan itu termasuk syirik.

Sehingga tidak ada yang mengira, sikap diam tanpa pengingkarannya atau sikapnya yang mengambil barang tersebut sebagai dalil bahwa perbuatan itu boleh atau bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allâh itu boleh. Juga dikarenakan, syirik merupakan kemungkaran yang paling besar,  sehingga wajib diingkari.

Namun, jika makanan itu dibuat dari daging sembelihan orang-orang musyrik, atau lemaknya, atau kuahnya, maka itu haram. Karena hukum sembelihan mereka sama dengan hukum bangkai, yaitu haram dan makanan yang tercampuri menjadi najis. Berbeda dengan roti dan yang semacamnya, yang tidak tercampuri sembelihan orang-orang musyrik, maka itu halal bagi orang yang mengambilnya. Demikian juga uang dan semacamnya (hukumnya halal) sebagaimana penjelasan diatas. Wallâhu a’lam. [Catatan kaki kitab Fathul Majîd, hlm. 151-152, penerbit. Dârul Fikr; cet. 7; th. 1399 H/ 1979 M].

Dari penjelasan Syaikh Bin Bâz rahimahullah ini, terpahami dengan jelas bahwa barang-barang yang telah beliau sebutkan itu halal. Namun perlu diingat, tidak boleh ada keyakinan bahwa benda-benda itu membawa berkah atau bencana. Demikian juga tidak boleh mengambilnya dengan cara-cara yang mengakibat si pengambil direndahkan oleh manusia, seperti berebutan dan semacamnya.
Wallâhu a’lam.

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Read More --►
Energy Saving Mode
Gunakan Mouse untuk Keluar Mode Energy Saving